Ada penari sejati. Gerakannya indah, pengaruhnya kuat. Jika ia menari, semua orang ikut gembira. Ada yang ikut menari, menyanyi, dan main musik –termasuk memukul apa saja untuk menghasilkan bunyi.
Di manapun ia menari, di situ kehebohan muncul tanpa bisa dibendung. Ia menari di pasar, maka pasar menjadi kacau. Ia menari di jalan, maka lalu-lintas menjadi semrawut. Akibatnya penari itu dianggap mengganggu ketertiban. Ia dipenjara.
Masalahnya, di penjara pun ia menari, sehingga para narapidana ikut menari dan sipir penjara ikut bernyanyi. Penguasa marah, lalu memotong tangan sang penari. Ia mulai menari dengan kakinya. Dipotong kakinya, ia menari dengan kepalanya. Dipotong lehernya, ia menari dengan matanya. Malah semakin menjadi-jadi dan semakin banyak yang mengikutinya.
Penguasa mulai putus asa, “Bagaimana cara menghentikan tarianmu?”
Sang penari menjawab, “Untuk menari aku tidak memerlukan musik. Untuk menari aku tidak memerlukan kaki dan tangan. Untuk menari aku hanya membutuhkan jiwa yang merdeka!”
Cerita itu kali pertama saya dapat dari tulisan Eka Budianta. Pria kelahiran Jawa Timur, 1 Februari 1956, itu menggunakannya untuk mengantar ide tentang pentingnya seorang penulis memiliki jiwa merdeka. Penulis bisa berkarya karena hatinya bebas. Begitu kira-kira intinya.
Gnothi seauthon
Sabtu, 12 Maret 2016, Agus Safari melengkapi puzzle kepenulisan yang sedang saya rangkai. Dalam Klinik Menulis bertajuk “Menemukan Jati Diri dalam Tulisan” yang digagas Forum Film Bandung Community, ia mengajak para penulis untuk masuk ke dalam diri sendiri. Kembali ke dasar, yaitu mengenali diri sendiri.
Ajakan penulis Dongeng dari Negeri Kerdil ini bermanfaat sekali bagi saya. Lebih dari sekadar berbagi teknik, ia memantik pergulatan pemikiran. Ini seperti kunci supaya jiwa bisa merdeka.
Begini, setiap penulis ingin berkarya. Supaya bisa berkarya, ia harus merdeka. Tapi supaya merdeka, ia harus masuk dulu ke dalam diri sendiri. Nah, berarti, supaya bisa keluar, ia harus masuk. Setelah masuk, ia harus keluar. Inilah siklusnya.
Proses masuk ke dalam diri sendiri ini menghindarkan kita dari jebakan “merdeka”. Ada orang yang ingin selalu bebas, tapi dengan kata lain malah diperbudak kebebasan. Karena sebenarnya orang ini belum mengenal dirinya sendiri, belum tahu apa yang diinginkannya.
Ini seperti ingin ke “luar”, tapi kita tidak tahu batas-batas yang disebut “dalam”. Bisa jadi kita sudah berhasil ke luar kamar, tapi ternyata masih di “dalam”, karena yang dimaksud luar adalah ruang setelah pintu rumah. Bisa jadi kita sudah ke luar rumah, tapi ternyata masih di “dalam”, karena batas luarnya adalah gerbang kompleks perumahan. Jadi, kalau mau ke “luar”, memang harus tahu tentang apa yang di “dalam”. Mau merdeka, harus mengenal diri sendiri. Begitulah hubungannya.
Terlihat sederhana, mungkin. Tapi, bisa jadi kesederhanaan itu menyimpan kompleksitas yang harus diurai melalui proses panjang. Pantas saja, konon katanya, perkataan seorang orakel dari daerah Delphi, Yunani, menjadi penyebab berkembangnya ilmu filsafat. Kenali dirimu, katanya. Gnothi seauthon!
dalam dan keren