Merayakan kebhinnekaan, kira-kira begitu pesan besar dari perayaan Ulang Tahun ke-72 Republik Indonesia. Pesan ini semakin tegas ketika Presiden Jokowi dan jajarannya mengenakan baju adat dari daerah-daerah di Indonesia. Tapi, apa sebenarnya nilai inti dari perayaan kebhinnekaan?
Kalau hanya berbicara tentang kebhinnekaan, tentu semua sudah tahu. Kebhinnekaan bagi Indonesia sudah merupakan sunatullah. Berbeda dengan keberagaman di Amerika yang terbentuk karena gelombang imigrasi, keberagaman di Indonesia memang sudah ada sejak awal.
Maka saya sepakat seperti yang disampaikan oleh Karim Suryadi ketika menjadi pembicara acara Flash Blogging bertema “72 Tahun Memperkokoh Kebhinekaan dalam Membangun Negeri”, pada Selasa (22/8/17), di Holiday Inn, Bandung. Pada acara yang digagas oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat itu, salah satu pengisi kolom di Harian Pikiran Rakyat itu bilang bahwa perayaan kebhinnekaan harus masuk kepada esensinya, yaitu kepekaan kultural.
Sensitivitas kebudayaan, inilah inti gagasannya. Dan kita berkerja di bawah panglima gagasan itu. Gagasan untuk merawat Indonesia akan memandu masyarakat memiliki sensitivitas kebudayaan. Melalui gagasan inilah kita bekerja dan berkarya. Dan dalam bekerja dan berkarya itulah kita perlu memahami bahwa rekan kita sangat mungkin punya budaya berbeda. Perbedaan budaya itulah yang harus direspons dengan bijaksana supaya kita bisa tetap bersatu dalam keberagaman.
Karena keberagaman ibarat rumput. Hijau memang, tapi jangan lupa bahwa rumput bisa mengering. Nah, ketika mengering, rumput jadi mudah terbakar. Begitu juga dengan keberagaman. Kalau tidak punya kepekaan kebudayaan, maka akan lahir gesekan yang menghasilkan panas lalu kebakaran.
Menjadi Air yang Mencegah Kebakaran
kebebasan dalam dunia maya merupakan peluang, sekaligus tantangan tersendiri. Sebab, tidak semua kebebasan menjadi keberkahan. Kontrolnya ada di pengguna. Maka, kembali ke gagasan awal, kita ingin merawat Indonesia.
Masalahnya, kadang konten yang kita ciptakan masih kalah dengan hoax. Lantas, bagaimana caranya menjadi air untuk memadamkan hoax?
- Pertama, gunakan prinsip korespondensi >> didukung oleh fakta yang diketahui oleh pembaca. Kalau bertolak belakang dengan fakta yang bertentangan, maka pembaca akan mencari tahu lebih lanjut.
- Kedua, gunakan prinsip koherensi >> tulisan yang baru akan diyakini sebagai sesuatu yang benar bila tulisan sebelumnya sudah diyakini sebagai sesuatu yang benar.
Masih di acara yang sama, Enda Nasution mengusulkan agar content creator menciptakan konten yang pesannya kuat. Caranya adalah dengan terus berkarya. Nah, karya yang dilahirkan secara terus-menerus inilah yang menuntun pembuatnya menemukan jati dirinya. Bolehlah kita sebut ini sebagai lingkaran malaikat –sekadar untuk menyaingi lingkaran setan.
#FlashBlog72RI