Siapa yang mau meraih cita tertinggiii?
Mungkin semuanya mau. Tapi, benarkah sudah bersungguh-sungguh mencita-citakannya?
Bercita-cita ternyata tidak semudah makan di rumah makan padang. Kalau di rumah makan padang, “Apa yang kita mau, bisa kita pesan” dan “Apa yang kita lihat, bisa kita ambil”. Tapi bercita-cita? Saya agak malu menuliskannya, tapi nyatanya memang begini: punya otak saja belum cukup untuk bisa punya cita-cita besar.
Ya, tidak semua orang berani punya cita-cita besar. Ada yang trauma dengan masa lalu, ada yang terbelenggu dengan keterbatasan. Ada yang lebih parah lagi, yaitu mereka yang keburu minder, tidak percaya terhadap diri sendiri, karena menyaksikan keberhasilan orang lain.
Siapa yang sebenarnya menghalangi kesuksesan kita? Siapa orangnya yang membuat kita sulit melangkah? Bercerminlah. Lihat baik-baik bayangan di cermin itu. Pandang matanya, amati raut wajahnya. Dialah orang yang benar-benar membatasi diri kita untuk melangkah.
Sumber masalahnya ternyata ada pada diri sendiri. Pembusukannya ada di pikiran dan mental kita. Karena sebenarnya tidak ada orang yang bisa memaksa kita untuk lemah kalau kita menolak untuk lemah. Orang lain hanya akan berhasil membuat kita kalah kalau kita benar-benar memilih untuk lemah.
Ternyata kuncinya ada di pikiran dan keyakinan. Kalau kita percaya, kalau kita yakin, insya Allah kita bisa mencapai cita-cita. Pantas saja Michael Phelps, atlet peraih medali terbanyak sepanjang masa – setidaknya sampai olimpiade London 2012, berkata, “Segala sesuatu adalah mungkin selama Anda benar-benar memikirkan, mengerjakan, dan menyediakan waktu untuk hal itu. Pikiran Anda benar-benar mengendalikan segala sesuatu.”
Memang begitulah hidup. Ada orang-orang yang percaya pada apa yang telah dilihatnya. Tapi, ada juga orang yang di kemudian hari meraih apa yang telah dicita-citakannya selama bertahun-tahun. Yeah, you do not only believe what you see, you rather see what you already believe!