Bung Hatta yang sepuh. Kesehatannya menurun. Dokter menyarankan beliau mengurangi kegiatan membaca. Ketiga puteri dan menantunya mulai bergantian mendapat tugas membacakan pidato beliau ketika tokoh proklamasi itu mendapat undangan berpidato.
Termasuk pada 1979, ketika Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi berlangsung di Cisarua. Kala itu menantunya, Edi, yang didaulat akan membacakan pidato beliau.
Tapi, saat giliran pembacaan pidato, tiba-tiba lelaki kelahiran Bukittinggi, 12 Agustus 1902, itu bersemangat untuk membacakan sendiri pidatonya. Beliau membacakan buah pikirannya itu tanpa kaca pembesar. Menantunya sebenarnya sudah sangsi sejak awal bahwa mertuanya itu bisa menyelesaikan pidato tersebut.
Benar saja, di tengah pidato, Bung Hatta berhenti. Menantunya meneruskan pidato itu. Tugas yang berat karena pidato Bapak Koperasi itu dibacakan di hadapan para ekonom, guru besar, dan menteri-menteri ekuin Kabinet Pembangunan III.
Tugas itu kian terasa berat ketika sampai pada bagian, “… Negara kita masih berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, tetapi perekonomian negara di bawah teknokrat kita sekarang, sering menyimpang dari dasar itu.”
Agaknya kalimat itu mewakili kegelisahan banyak orang. Serta-merta para hadirin bertepuk tangan. Edi terpaksa berhenti sejenak memberi kesempatan para hadirin menyelesaikan apresiasinya.
Sebenarnya pidato itu sudah diusahakan untuk diperhalus oleh Edi dan Pak Wangsa. Maklum, pidato itu akan dibacakan di depan para pejabat. Tapi Bung Hatta tegas menolak. Pak Wangsa yang telah menghaluskan pidato tersebut malah kena bentak. Akhirnya kalimat keras itu benar-benar masuk ke naskah pidato dan dibacakan di hadapan orang-orang yang memang disasar oleh Bung Hatta.
Hmm, di hari ulang tahun tokoh yang hampir selalu menyelipkan haru ketika mengenangnya, saya kembali membaca potongan pidato itu… Dan saya bertanya-tanya, andai Bung Hatta masih hidup dan diminta untuk mengomentari kondisi ekonomi saat ini, akankah beliau membacakan kembali pidato yang ditulis pada 37 tahun silam itu?
Dedi Setiawan