Resensi ini dimuat di Koran Jakarta dengan judul “Persahabatan Bung Karno dengan Para Tokoh Dunia”, pada Selasa, 11 April 2017.
—
Bung Karno (BK) merupakan salah satu pemimpin Indonesia yang paling luwes dalam bergaul. Dia menjalin persahabatan dengan kepala negara dari berbagai belahan dunia. Keakrabannya dengan para tokoh dunia melampaui sekat ideologi, budaya, dan agama. Hal itulah yang diungkap buku Dunia dalam Genggaman Bung Karno karya Sigit Aris Prasetyo.
Pribadi presiden pertama Indonesia ini memang menarik. Kecerdasannya serupa magnet yang menyedot perhatian orang-orang di sekitarnya. “Datanglah dan bertanyalah kepada pamanmu, Sukarno, jika memiliki pertanyaan-pertanyaan sulit,” kata Nehru kepada putrinya, Indira Gandhi (hal. 86). Bahkan, Charles de Gaulle yang semula sinis pun luruh. “Saya baru saja bertemu dengan orang yang paling cerdas di muka bumi ini. Dan orang tersebut adalah Sukarno,” kata pemimpin Prancis itu. (hal. 189)
Singa podium ini tidak kaku dan pintar bercanda. Dia tak segan berlarian bersama Perdana Menteri Uni Sovyet Nikita Krushchev untuk menangkap kupu-kupu di Istana Bogor. Dia menjawab santai protes Fidel Castro tentang cerutu buatan Inggris yang dimilikinya, “Kaum imperialis dan kapitalis itu harus diisap jadi asap dan debu.” Jawaban itu membuat Castro terbahak.
Ketika mengetahui kesengsaraan negara lain, “Penyambung Lidah Rakyat” ini berusaha membantu. Dia mengirim 500 ribu ton beras kepada rakyat India yang kelaparan. Dia memberangkatkan Kontingen Garuda I ke Mesir untuk menjaga perdamaian. Menyaksikan tangisan Ben Yahya yang menceritakan penderitaan bangsa Aljazair, dia bangkit dan berkata, “Republik Indonesia membela Aljazair. Malam ini juga saya perintahkan menteri luar negeri berangkat ke PBB!” (hal. 271)
Menariknya, persahabatan dengan para tokoh dunia tidak membuat prinsip Putra Sang Fajar tergadai. Meski bersahabat dengan Charles de Gaulle, dia tetap mendukung Aljazair merdeka dari Prancis. Menurutnya, dukungan itu justru sesuai dengan ajaran revolusi Prancis, yaitu liberte, egalite, fraternite (kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan).
Bagi pemimpin yang pernah dididik Tjokroaminoto itu, perbedaan pandangan tidak boleh menghancurkan persahabatan. Alih-alih menggali perbedaan, dia mencari persamaan dalam hal menentang kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Dia tampil sebagai nasionalis yang membenci praktik pembedaan derajat berdasarkan faktor suku, ras, dan agama. Politik luar negerinya adalah nonblok.
“Kita ingin mendirikan satu negara ‘semua buat semua’, bukan negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ‘semua untuk semua’,” tegasnya. (326)
Di era media sosial yang serba cepat ini, di mana komentar-komentar yang merusak persatuan bangsa berhamburan dengan bebasnya, buku ini sungguh layak dibaca. Setidaknya, dialog BK dengan Josip Broz Tito mengingatkan pentingnya Pancasila. Di saat tokoh Yugoslovakia itu berpikir mewariskan tentara yang tangguh dan berani untuk melindungi negaranya, BK berpikir tentang pegangan hidup berbangsa.
“Aku tidak khawatir, karena aku telah meninggalkan bangsaku dengan sebuah ‘way of life’, yaitu Pancasila,” ungkapnya. Pada tahun 1990, Yugoslovakia pecah menjadi negara-negara kecil, seperti Serbia, Kroasia, dan Bosnia. Sedangkan Indonesia, hingga hari ini, masih utuh sebagai sebuah bangsa.
Dedi Setiawan
***
Data Buku
Judul : Dunia dalam Genggaman Bung Karno
Penulis : Sigit Aris Prasetyo
Tebal : 354 + XII halaman
Cetakan : I, Februari 2017
Penerbit : Penerbit Imania
Harga : Rp. 80.000
ISBN : 978-602-7926-33-2