Kadang orang menempatkan doa di urutan terakhir dalam segala urusan kehidupan. Ada juga yang memisahkan antara “ikhtiar” dan “doa”. Padahal, doa merupakan hal utama yang membingkai kehidupan kita.
Saking pentingnya doa, sampai-sampai tidak ada ibadah yang TIDAK mengandung doa. Solat kita terdiri dari doa, begitu juga dengan wudhu, zakat, haji, dan seterusnya. Doa menjadi inti ibadah. Doa merupakan inti ekspresi dari ketauhidan kita. Kegiatan berdoa menghimpun semua bentuk penghambaan kepada Allah.
Lantas, apa yang bisa kita pelajari dari doa orang-orang saleh terdahulu?
Orang-orang saleh terdahulu melantunkan doa-doa yang memang menjadi obsesi mereka… dan mereka memang hidup dalam obsesi itu. Obsesi yang ultimate!
Segala yang mereka minta dalam doa, itu sudah diusahakan dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan mereka. Mereka mengumpulkan hikmah dari cahaya kenabian, lalu mereka internalisasikan dalam diri mereka.
Mungkin seperti puisi cinta. Begitu ucapan kita berbeda dengan isi hati, maka kata-kata menjadi kehilangan makna dan kekuatan. Sebaliknya, begitu metafora-nya sesuai dengan isi hati, maka ungkapan tsb menjadi kuat –meski diungkapkan dengan cara yang sederhana.
Ambil contoh puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Aku Ingin”:
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Puisi tersebut tampak “sederhana”, tetapi kuat. Tidak ada pilihan kata yang aneh-aneh dalam puisi itu. Tentu kekuatan dalam puisi itu merupakan buah dari perasaan Sapardi.
Belajar dari Doa Sahabat Nabi
Oke, mari kita lihat contoh doa dari Sahabat Nabi.
Ini adalah doa yang dilantunkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq. Doa ini begitu to-the-point. Abu Bakar, sahabat terbaik yang seluruh hidupnya terdiri dari kumpulan prestasi, ternyata terobsesi dengan hari terakhirnya. Beliau ingin hari terakhir hidupnya adalah hari terbaik.
Kebayang, kan, bagaimana baiknya hari terakhirnya ABu Bakar?
Abu Bakar ini merupakan sahabat Nabi yang amalannya tidak dapat ditandingi oleh sahabat manapun –bahkan oleh seorang sahabat yang kuat semisal Umar bin Khattab. Kesehariannya sudah terdiri dari amal terbaik, tapi beliau belum merasa cukup. Beliau ingin hari terakhirnya merupakan HARI TERBAIK di antara hari-hari yang memang sudah… terbaik!
Ini contoh doa yang dilantunkan Umar bin Khattab.
Semasa hidup, Umar sudah bisa membayangkan bahwa beliau akan syahid. Ceritanya, dulu, Rasulullah naik ke Bukit Uhud bersama Abu Bakar, Umar, dan Usman. Tiba-tiba Bukit Uhud bergetar.
Lalu Nabi berkata, “Tenanglah, Wahai Uhud, karena di atasmu saat ini ada Nabi, Ash-shiddiq (maksudnya Abu Bakar), dan dua orang yang akan syahid (maksudnya Umar dan Usman).”
Dari situ Umar tahu bahwa beliau akan syahid. Obsesi tersebut dibawa Umar ke dalam doa-doanya. Dan memang benar, seperti yang diminta, Umar akhirnya syahid. Beliau ditikam saat menjadi imam sholat subuh.
Dari doa tersebut, kita juga tahu bahwa Umar tidak ingin meninggal dalam keadaan bermusuhan dengan Kaum Muslimin. Beliau merasa perlu menyebut agar kematiannya tidak disebabkan oleh orang yang pernah bersujud kepada Allah. Doa ini dikabulkan oleh Allah.
Begitulah. Dari orang-orang saleh kita belajar untuk menyebut-nyebut obsesi kita dalam doa. Dari mereka juga kita belajar untuk menentukan obsesi yang ultimate!