Hamka merupakan sosok yang menarik. Dia novelis, juga politisi, sekaligus ulama. Predikat yang terakhir itulah yang membingkai hari-harinya.
Dia bisa keras saat menjadi anggota Konstituante. Dia bisa tegas ketika menyampaikan khotbah. Namun, kemewahan itu tercabut saat menulis fiksi.
Ketika menulis novel, tokoh kelahiran Sumatera Barat, 17 Februari 1908, itu harus menyisipkan pesan secara halus. Dia tidak boleh membuat pembacanya seperti sedang membaca teks orasi. Jangan sampai pula masyarakat merasa sedang membaca naskah ceramah.
Dalam rangka mengapresiasi usaha Hamka itulah Lingkar Studi Literasi (LSL) menggelar diskusi, pada Sabtu, 6 Februari 2021, via GoogleMeet. Pesertanya merupakan anggota FLP Jawa Barat yang telah membaca novel-novel Hamka. Berikut corat-coret singkat saya tentang diskusi tersebut.
Menerbitkan Simpati Melalui Tragedi
Diskusi diawali dengan pemaparan Azhar Fakhru Rijal dari Kuningan. Dia menceritakan kesannya setelah membaca novel Terusir. Salah satu konflik yang menarik dalam novel tersebut adalah ketika tokoh Mariah diusir dari rumah pamannya akibat difitnah. Menurutnya, perempuan dalam novel-novel Hamka diposisikan sebagai pihak yang tersakiti.
Menanggapi hal tersebut, Endang Kurnia mengatakan bahwa itu memang triknya Hamka. Perempuan asal Indramayu itu menganggap begitulah cara Hamka agar masyarakat bersimpati kepada kaum hawa.
“Hamka itu pahlawannya cewek. Perempuan saat itu sangat terpinggirkan, mungkin juga sampai sekarang. Menyaksikan itu, Hamka gak perlu nulis bahwa dia pecinta wanita. Dia memilih menulis dalam bentuk cerita yang menyentuh. Saya merasakan dia sangat sayang kepada perempuan,” ujarnya.
Keterbatasan perempuan saat itu, menurut HD. Gumilang, disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah. Dosen sejarah di STIABI Riyadul ‘Ulum, Tasikmalaya, itu mencontohkan, “Bahkan ketika Mariah difitnah, dia tidak dapat membela dirinya. Dia tidak mampu menjelaskan peristiwa saat Hamzah masuk ke rumahnya.”
Teknik dan Gaya Bahasa Hamka
Kakandaku,
Tuduhan itu berat sekali, sampai sekarang aku belum mampu memikulnya. Sungguh, kesalahan itu bukan kesalahanku. Itu hanyalah fitnah dan perbuatan orang lain, yang benci melihat damainya rumah tangga kita, melihat beruntung kita selama ini setelah hamper sepuluh tahun kita hidup Bersama. Tidak ada angin bersimpang siur dalam pergaulan kita….
Begitulah pembukaan surat yang dikirim Mariah kepada suaminya dalam novel Terusir. Menurut Laila Nursaliha, dari Kabupaten Bandung, itu merupakan tanda kepiawaian Hamka dalam menggunakan perangkat komunikasi. Selain menggunakan dialog langsung yang bersifat kelisanan (orality), Hamka juga menggunakan surat yang merupakan bentuk literasi (literacy).
Lebih jauh tentang teknik bercerita, Azhar, yang merupakan orang Sunda, menduga bahwa gaya bahasa orang Minang sangat mempengaruhi karya Hamka. Dia merasakan gaya minang yang kental pada karya-karya Hamka. Dia mengamini pendapat yang mengatakan bahwa sebagian besar karya Hamka bergaya bahasa Minang.
Saya sendiri, yang tumbuh di Sumatera, tidak merasakan kesan yang dirasakan oleh Azhar. Bagi saya, gaya bahasa dan bercerita Hamka merupakan gaya Melayu pada umumnya. Betul bahwa contoh kasusnya adalah adat Minang, tapi gaya bahasanya adalah Melayu.
Febriansyah Martono kemudian masuk lebih dalam ke tradisi tulis. Lelaki berdarah Minang itu menginformasikan bahwa orang Minang tidak memiliki aksara, seperti, misalnya, orang Jawa dengan ha-na-ca-ra-ka. Ketika menulis, bisa terjadi sekadar memindahkan dari lisan ke tulisan. Mungkin itulah sebabnya masih terasa gaya lisan pada karya Hamka.
Febri kemudian memberi intermeso kepada kami tentang adat pernikahan orang Minang. Kenapa, pancingnya, orang-orang berpikir bahwa perempuan Minang itu pasti membeli calon suaminya? Padahal, yang menjalankan tradisi “jampuik” itu hanya orang Minang di daerah Pariaman.
“Salah satu sebabnya, karena orang Pariaman suka berdagang, misalnya membuka rumah makan padang. Mereka relatif lebih populer di perantauan dibandingkan orang Minang dari daerah lain. Adat yang dijalankan oleh orang Pariaman itulah yang dikenal secara luas oleh masyarakat,” terang lelaki yang menikah dengan orang Pariaman itu.
Belajar Menulis dari Karya Hamka
Meski telah tiada sejak 24 Juli 1981, di Jakarta, Hamka tetap hidup di hati masyarakat hingga saat ini. Dia menyapa generasi masa kini melalui karya. Bahkan, dia menjadi guru bagi orang-orang yang hobi menulis.
Itulah yang dirasakan Felian Auliya setelah membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKVDW). Dara asal Bandung ini menyukai gaya bercerita Hamka yang terasa mengalir. Dia juga mengagumi cara Hamka membangun penokohan.
“Karakter dalam novel Hamka terasa begitu nyata dengan sifat khas-nya masing-masing. Beliau membuat penokohan dengan sangat baik,” katanya.
Karya Hamka juga menginspirasi Eika Vio dalam berkarya. Perempuan asal Kabupaten Bandung itu mengaku senang bisa membaca karya-karya lama. Usai membaca novel Terusir, dia mendapat, lalu mencatat, kata-kata “baru”.
“Ada beberapa kata yang baru saya ketahui. Kosakata itu biasanya saya catat, lalu saya gunakan dalam karya,” terang pemenang juara 2 Kompetisi Menulis Indiva 2020 itu.
Kisah-Kisah yang Menyentuh
Salah satu kekuatan Hamka adalah kemampuannya menyentuh hati pembaca. Bahkan melalui novel yang tipis, ungkap M. Dzanuryadi dari Karawang, Hamka membuat pembaca larut dalam cerita. Pembaca ikut menyelami perasaan tokoh-tokoh dalam novel.
Pendapat itu diamini oleh Windra Yuniarsih. Gadis yang berdomisili di Bandung ini sangat menyukai novel Hamka. Dia membaca TKVDW sampai dua kali. Pun begitu, dia masih bersedih atas nasib Hayati, “Kenapa ending-nya harus begitu, ya?”
Vina Sri juga tersentuh dengan karya Hamka. Menurutnya, itu karena Hamka menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti. Sejauh ini dia telah membaca karya Hamka yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, dan TKVDW. “Ketika menggambarkan suasana, ya, suasananya dapat,” ujar perempuan yang tinggal di Sukabumi itu.
Secara umum saya sepakat dengan pendapat kawan-kawan LSL. Novel-novel Hamka memang mudah dipahami. Beberapa ceritanya juga membekas di hati. Namun, terkadang dia juga terkesan terburu-buru menyelesaikan konflik.
Misalnya, dalam TKVDW, ketika Hayati diminta menjenguk Zainuddin yang sedang sakit parah. Saat itu Hayati baru menikah dengan Aziz. Secara logika, pasti sulit sekali mengabulkannya. Namun, persoalan sulit tersebut hanya diselesaikan dengan cara seperti ini:
Lantaran pandainya menarik hati ninik mamak Hayati, permintaan itu dikabulkan orang, meskipun Aziz sendiri mula-mulanya keberatan. Dalam pemandangan orang dusun hal itu pun menyalahi kebiasaan. Tetapi kekerasan permintaan dokter telah menghilangkan segala kemusykilan.
Andai Hamka sempat menuliskan cerita yang lebih panjang, mungkin pembaca menjadi lebih puas. Pembaca bisa merasakan konflik batin yang dialami oleh Hayati dan Aziz. Pembaca juga bisa belajar tentang teknik berkomunikasi dengan orang Minang.
Konsistensi Hamka
Ada banyak hal yang saya suka dari Hamka, salah satunya adalah konsistensi. Dia terus membela perempuan melalui kisah-kisahnya. Memang perempuan dikesankan sebagai pihak yang tersakiti, tapi itulah jalan memutar yang digunakannya untuk membela perempuan.
Bisa jadi sebenarnya Hamka juga tidak ingin memposisikan perempuan sebagai pihak yang tersakiti di novel-novelnya. Namun, kondisi perempuan zaman dahulu memang sesusah itu. Dengan kata lain, novel Hamka “hanya” menggambarkan kondisi sebenarnya.
Selain itu, Hamka juga konsisten mengajak pembaca untuk memperjuangkan, atau setidaknya bersimpati pada, cinta yang suci. Dia mengajak pembaca melihat kemungkinan yang terjadi ketika cinta dibenturkan dengan harta, adat, maupun jabatan. Bayangkan, ada dua orang saling mencintai, tapi jalan cintanya tak mulus akibat tersandung “apa kata orang”.
Nah, kisah-kisah dalam novel Hamka membuat pembaca berpikir: Apa jalan yang harus ditempuh dalam kondisi begitu? Kalau pun belum ketemu jalannya, setidaknya pembaca tahu ke mana harus berpihak.
Begitulah Hamka. Konsistensinya itu niscaya tidak sia-sia. Melalui novel-novelnya, dia terus mengajak masyarakat, termasuk anak-anak muda, untuk berdialog secara halus dan lembut.