Siang ini ngejemput Aliya pake motor Supra keluaran dua windu lalu. Wajar dong kalau kecepatannya bersahaja ^_^
Sampe di Jalan Karapitan, hujan deras. Terpaksa berteduh dulu. Karena selain kecepatannya bersahaja, kami juga gak bawa jas hujan hehe.
Di saat berteduh itulah Aliya nanya, “Ujan itu kan rahmat ya, Yah? Kenapa mesti dihindari ya?”
Jreng jreng… Selama ini saya memang berulang kali bilang bahwa hujan merupakan rahmat, hujan itu anugerah dari Allah. Saya pikir selesai sampai di situ.
Tapi ternyata tidak. Saya gak tahu bahwa Aliya menemukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang, mungkin baginya, kontradiktif.
Ya, kalau memang rahmat, kenapa terlihat seperti dihindari? Kenapa malah berteduh? Kok bukannya dijemput? Bukannya diusahakan untuk menikmatinya?
Hhmm, betul juga ya. Kalau makanan dianggap anugerah dari Allah, bukankah cara menikmatinya dengan memakannya? Kalau anak merupakan anugerah, bukankah cara menikmatinya dengan menyambutnya gembira? Lha, ini, katanya hujan itu rahmat, kok malah dihindari?
Saya terus berpikir, sampai akhirnya saya bilang, “Iya, hujan itu rahmat, Al. Tapi, cara kita menikmati rahmat itu berbeda-beda.”
Tiba-tiba Aliya langsung nyamber, “Aaa, aku tahu, kayak menumbuhkan tanaman, kan?”
“Iya, Al, hujan itu rahmat dan ada banyak cara untuk menikmatinya. Ada yang langsung main hujan-hujanan, ada yang suka memandanginya, ada yang menggunakannya untuk menyiram tanaman, dan banyak lagi,” saya menambahi.
Untungnya, Aliya gak lanjut nanya: kalau hujan itu rahmat, kok hujan malah bikin banjir?
Hehe, untung saja dia gak nanya seperti itu.