Kerjaan sudah beres. Deadline menulis juga sudah terlewati. Hari ini lebih santai.
Sejak pagi saya di rumah saja, menemani Sofia bermain. Lebih tepatnya, jadi asistennya Sofia. Kalau dia bilang, “Oo, ooo…,” dengan cara diayun, itu berarti sepedanya nabrak atau tersangkut barang-barang di ruang tamu, sehingga saya harus sigap menolongnya.
Bosan bermain sepeda, dia main yang lain. Ngacak-ngacak barang. Ya, sesukanya saja, namanya juga anak-anak. Saya sudah tidak terlalu memperhatikannya. Fokus saya direbut handphone. Sampai tiba-tiba dia bilang, “Ayah, ayah, ini, ini. Lihat, lihat. Bisa, kan? Bisa, kan?”. Tentu kalimat itu diucapkan dengan cadel-nya anak umur dua tahun.
Ternyata kaki kanannya sudah masuk ke in-line skate kakaknya. Sebelah kaki saja. Dimaju-mundur-kannya sebelah kaki itu sambil berkali-kali menoleh ke arah saya. Semacam memastikan bahwa saya melihat aksinya. Ada sumringah di wajahnya.
Melihat tingkahnya, saya merasa bahagia, sekaligus… haru! Ya, tiba-tiba saya merasa terharu. Anakku, anakku, kamu mencari apresiasi dari ayah, nak?
Sejumlah tanya langsung menggedor-gedor: berapa kali saya tak hadir ketika anak-anak butuh apresiasi dari sosok ayah? berapa kali saya tak ada saat anak-anak butuh pelukan seorang ayah? berapa kali saya tergesa-gesa saat anak-anak mau bermanja-manja dengan ayahnya?
Ah, pasti berkali-kali dan tak terhitung jumlahnya. Duh!
###
Insya Allah bersambung ke “Ayah, Hadirlah dalam Hidup Putrimu“
Pingback: Menjadi Orang Tua Bagi Semua AnakDedi Setiawan | Dedi Setiawan