Resensi ini dimuat di Koran Jakarta dengan judul “Melihat Sepak Terjang Gaya Politik Soeharto”, pada Kamis, 8 September 2016
—
Soeharto merupakan cerita yang tak pernah selesai. Ia presiden Indonesia terlama yang melahirkan pemuja sekaligus penghujat. Bahkan setelah hampir dua dasawarsa kelengserannya, masyarakat masih bergantian memuji dan mencercanya. Dalam hiruk-pikuk seperti itulah membaca buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto menjadi asyik. Karena sungguhpun ia dicinta dan dinista, analisis Salim Haji Said dalam buku ini menunjukkan bahwa permainan politik Pak Harto memang canggih adanya.
Pemegang mandat Supersemar itu mengambil tiga langkah setelah “menjinakkan” Bung Karno. Pertama, menyingkirkan semua perwira berorientasi kiri dan Sukarnois. Kedua, mempromosikan para jenderal yang dianggap tidak punya potensi menggunakan tentara untuk melawannya. Ketiga, para pendukung yang berjasa bagi kemenangan politik Soeharto, tetapi menonjol dalam masyarakat, atau dianggap mempunyai agenda sendiri, dengan segera disingkirkan dari posisi-posisi berpengaruh. (hal. 10)
Langkah pertama diselesaikan mantan panglima Mandala itu dengan mudah. Apalagi tiga “King Maker”, yaitu H. R. Dharsono, Sarwo Edhie Wibowo, dan Kemal Idris, selalu siaga membantu. Siapapun yang dicap “PKI” atau pro Sukarno bisa segera terpental dari pusat kekuasaan, dipenjara, bahkan hilang dari peredaran.
Keunikan terlihat ketika penerima Bintang Republik Indonesia Adipurna itu melaksanakan langkah kedua. Ia memilih orang-orang cerdas dengan kemampuan mumpuni, tapi tidak punya akar kuat di militer. Orang-orang itu bisa diangkat dalam waktu sangat singkat. Ia merasa tidak butuh banyak penjelasan kepada pihak yang tidak setuju.
Sebutlah misalnya nama L. B. Moerdani. Ketika diangkat memimpin berbagai lembaga intel pada masa pasca-Malari 1974, ia sudah sembilan tahun berada di luar jajaran militer. Jabatan tertinggi sebagai tentara yang pernah dipegangnya hanya komandan batalion, dengan pangkat mayor, pada Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). (hal. 142). Tapi itu tidak menghalangi Soeharto menunjuknya sebagai Panglima ABRI pada 1983.
Ketika orang-orang yang diberi jabatan itu dianggap punya agenda sendiri, maka presiden berjuluk The Smiling General itu segera mengambil langkah ketiga, yaitu melakukan pembersihan. Saat meragukan loyalitas L. B. Moerdani, ia segera memberhentikan panglima ABRI yang akrab disapa Benny itu. Ia lalu melakukan de-Benny-isasi, penyingkiran orang-orang yang dekat dengan Benny.
Lebih jauh, ia mewacanakan menggeser kepemimpinan nasional dari militer ke sipil. Wacana ini bukan karena kesadaran berdemokrasi. Tapi, ditengarai sebagai usaha membentuk dinasti sambil terus mengontrol jalannya pemerintahan.
Bapak Pembangunan itu lalu menyiapkan langkah-langkahnya. Misalnya, B. J. Habibie, yang merupakan seorang teknokrat –bukan militer, pada periode 1993-1998 mulai diberi peran untuk mengusulkan perekrutan beberapa menteri. Siti Hardianti Rukmana, puteri sulung Soeharto yang akrab disapa sebagai Tutut, juga didorong terlibat dalam kepemimpinan partai yang sangat berpengaruh saat itu, yaitu Golkar. Bahkan, Tutut juga duduk dalam kabinet sebagai menteri sosial.
Agaknya rencana presiden kedua Indonesia itu akan berhasil. Buktinya, pengangkatan Habibie sebagai wakil presiden dan Tutut sebagai menteri sosial tidak mendapat hambatan yang berarti. Begitu canggihnya strategi politik Pak Harto, sampai suara dari kelompok yang kontra juga relatif bisa diredam.
Kalaupun saat ini kita menyaksikan reformasi yang bergulir, itu bukan karena kegagalannya menyusun strategi politik. Namun, karena ada badai lain yang terlambat diantisipasi, yaitu krisis moneter. Terjangan badai krisis itulah yang lebih berperan menjatuhkannya dari kursi kepresidenan pada 1998.
Dedi Setiawan
***
Data Buku
Judul : Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto
Penulis : Salim Haji Said
Tebal : 292 halaman
Cetakan : I, Agustus 2016
Penerbit : Mizan
Harga : Rp. 89.000
ISBN : 978-979-433-952-7