Memenangkan Komitmen di Atas Goda

Bilal bin Rabah. Lelaki hitam dari Habasyah itu memang bikin keki. Apa pasal?

Suatu hari cahaya Ilahi datang menyapanya. Ia takjub, bersyukur, lalu menyatakan keislamannya kepada Muhammad. Saat itu ia masih berstatus sebagai budak Umayah bin Khalaf.

Umayah jelas tak suka dengan keberhasilan dakwah Muhammad. Apalagi keberhasilan ini mengancam harga dirinya sebagai orang Quraisy. Bagaimana mungkin seorang budak belian yang berada di bawah kuasanya bisa menjadi Muslim? Bagaimana seorang hina yang kehidupannya ditentukan oleh titahnya bisa menjadi pengikut Muhammad – orang nomor satu yang dimusuhi Quraisy saat itu?

rantai

Maka Umayah pun menjemur Bilal di bawah terik matahari padang pasir. Masih kurang kejam, Bilal yang telanjang dada pun ditindih dengan batu besar. Lengkap sudah Bilal dipanggang dari atas dan bawah.

Siksa seperti itu rupanya tidak menggoyahkan keimanan Bilal. Bukannya memuji Lata dan Uzza sesembahan Kaum Quraisy, Bilal malah kukuh memuja keesaan Allah. Ketika Umayah menyempurnakan siksaan dengan pukulan, Bilal malah mantap berucap, “Ahad… Ahad….”

Duh, Gusti! Manusia mana yang tidak keki dengan perbuatan Bilal ini? Orang-orang yang memerangi Muhammad pastilah kesal dengan keteguhan Bilal. Orang-orang yang mendukung Muhammad pun pasti “iri” menyaksikan keberhasilan Bilal memenangkan iman di atas siksa. Luar biasa!

Tapi kisah Bilal belum usai. Suatu saat setelah Allah memerdekakan Bilal melalui 100 tail emas yang dibayarkan oleh Abu Bakar –padahal Umayah hanya menaksir Bilal dengan harga satu tail emas — lagi-lagi Bilal menunjukkan keistimewaannya. Bilal secara konsisten menjaga wudhu-nya. Dan hasilnya kembali membuat “iri” siapapun yang mendengarnya, Rasulullah mengabarkan bahwa terompah Bilal telah terdengar di surga.

Lalu pelajaran apa yang bisa kita petik dari guru Bilal bin Rabah ini? Ada banyak, tentu. Tapi salah satunya adalah kekuatan menjaga komitmen.

Komitmen inilah yang membuat kita mampu menjalankan rencana. Kita boleh punya seribu rencana, sejuta bahkan, tapi tanpa komitmen, deretan angka itu hanya akan bermakna sebagai nol besar! Tanpa nilai, tanpa arti, sebesar apapun kita menuliskannya.

Ya, pada Bilal kita belajar. Kalau Bilal bisa memenangkan iman di atas siksa, semoga Allah menguatkan kita ketika nasib baik sedang enggan mendekat –meski nasib “baik” dan “buruk” sebenarnya tergantung pada penafsiran manusia. Kalau Bilal mempu memenangkan komitmen di atas goda, semoga Allah menakdirkan kemenangan yang sama kepada kita. Allahumma aamiin. Wallahu a’lam bish- shawab.

Leave a Reply

Back to Top
%d bloggers like this: