Tok tok tok.
“Siapa?”
“Sofia.”
“Ya, masuk.”
Dari caranya mengetuk, saya sudah tahu siapa yang meminta izin masuk. Tapi kami memang mengajarkan anak untuk mengetuk pintu. Supaya jadi kebiasaan.
“Ayah, yang tadi pagi mah bukan salah aku.”
Tiba-tiba saya merasa bersalah. Tadi pagi, dari kamar mandi, saya memanggil Sofia. Dari balik pintu saya bilang: jangan bikin adiknya nangis.
Saya membayangkan pesan itu begitu singkat, juga tegas – eh keras. Buktinya, seperti sulap, suara tangis adiknya langsung berhenti. Bukti yang lebih mengejutkan lagi, Sofia mengingatnya sampai menjelang sore.
Ingatan itulah yang membuatnya membela diri, “Yang tadi pagi mah bukan salah aku.”
Saya langsung memeluknya. Saya tidak sempat, mungkin juga tidak merasa perlu, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Ini respons alamiah saja.
“Oke, maapin ayah, ya.”
Saya tetap belum tahu apa yang terjadi tadi pagi. Yang saya tahu, dia menahan diri untuk menyampaikan protesnya. Begitu lamanya dia bersabar memilih waktu yang tepat.
“Kan aku lagi duduk. Adek malahan mau ke tempat aku duduk. Yaudah, aku duduk sama uwak. Adeknya malahan nangis,” jelasnya.
Lengking tangis adiknya di dapur itulah yang terdengar sampai ke kamar mandi. Itulah yang membuat saya berteriak memanggil Sofia. Tanpa bertanya kenapa, saya langsung kasih perintah: jangan bikin adiknya nangis. Seolah-olah dialah yang membuat adiknya menangis.
“Oke. Maapin ayah ya.”
Saya peluk lagi dia. Lebih lama dari yang pertama. Tentu dengan perasaan sedikit bersalah (khas lelaki? hehe).
“Iya, kamu gak salah. Maapin ayah. Tapi, lain kali, mungkin kamu bisa cari cara supaya gak rebutan dengan adiknya. Mungkin kamu bisa ajak adiknya untuk main bersama. Ya, kan?”
Dia mengangguk. Dia tersenyum. Dia keluar kamar, mungkin dengan perasaan lega.
Saya masih mellow.
Ah, pastilah banyak protes yang harusnya sampai ke telinga saya, tapi ternyata tak terdengar. Mungkin juga protes itu tak sempat terucap. Mungkin juga suara itu terlalu kecil.
Ah, jangan-jangan saya terlalu galak. Yang saya takutkan dari menjadi ayah yang galak bukanlah takut dibenci. Kalau pun itu terjadi, mereka masih mempunyai ibu untuk dicintai.
Yang saya takutkan dari menjadi ayah yang galak adalah hilangnya keberanian anak-anak untuk mengingatkan ketika ayahnya melakukan kesalahan. Padahal anak-anak begitu menyayangi kita. Mereka begitu mencintai kita…. dalam tawa dan air mata.