Hamka, sejak kecil hingga dewasa, berada di posisi yang bertentangan dengan wacana intelektual formal. Dia merupakan sosok yang menanjak melalui jalur otodidak. Melalui goresan pena, dia menegaskan bahwa menulis merupakan tradisi para ulama.
Buka puasa masih sekitar dua jam lagi, ketika Kang Irfan menyampaikan hal tersebut. Ketua Dewan Pertimbangan Forum Lingkar Pena (FLP) itu menyempatkan diri menemani kawan-kawan FLP Jabar “Menakar Hamka”, pada Senin (11/5/2020), di instagram @flpjabar. Ini salah satu diskusi online yang menarik di saat pandemi covid-nineteen.
Sama seperti pemikir Islam modernis pada umumnya, lanjut doktor lulusan UI itu, Hamka mengajukan satu tesis bahwa berislam bisa luas cakupannya. Kebetulan Hamka besar di Sumatera, dalam tradisi minang, dan dia pandai bercerita. Mungkin itulah yang membuat karya Hamka mudah dipahami oleh masyarakat.
Kepribadian Penuh Cinta
Hamka sendiri memiliki kepribadian yang kuat. Kekuatan itu bermula dari cinta. Itulah yang menjadi bekalnya ketika menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah. Dalam perjalanan hidup yang penuh rintangan, cinta menguatkannya untuk terus berjuang.
Ambil contoh ketika anggota Konstituante yang diangkat oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956 itu dituduh terlibat dalam kegiatan subversif. Dia menjalani pemeriksaan yang keras di masa pemerintahan orde lama. Dia disundut rokok, ditelanjangi, dan dihina sejadi-jadinya. Dia ditahan tanpa pernah menjalani proses pengadilan.
Nasib murid Tjokroaminoto itu mulai membaik ketika kekuatan politik Bung Karno mulai melemah. Dia dibebaskan setelah hampir tiga tahun menjalani masa penahanan. Tim pemeriksa mengakui bahwa tuduhan kepada Hamka merupakan fitnah belaka.
Kehidupan penjara yang menggoreskan luka ternyata tak menghalanginya untuk berkarya. Dia terus menulis meski dalam keterbatasan fisik. Hasilnya, lahirlah berjilid-jilid buku Tafsir Al-Azhar. Dia memang pejuang pena yang tangguh. Seumur hidupnya, dia menulis tak kurang dari 118 buku.
Dinginnya jeruji besi orde lama juga tidak memadamkan hangat api cintanya. Penulis roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck itu menangis ketika mengetahui kondisi Bung Karno sedang kritis akibat sakit. Sesuai dengan wasiat Bung Karno, dia pula yang menjadi imam salat jenazah saat “Pemimpin Besar Revolusi” itu wafat.
Ulama Toleran yang Diterima Semua Kalangan
Dalam kehidupan sehari-hari, Hamka dikenal sebagai sosok ulama yang toleran. Dia berhubungan baik dengan semua orang, termasuk kepada tetangga yang Budha, Katolik, dan aktivis gereja. Saat Idul Adha, dia memerintahkan panitia kurban untuk mengirimkan paha kambing kepada tetangganya. Keluarga Hamka juga mengirimkan rendang ketika tetangganya merayakan hari besar keagamaan.
Saat ketua pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu wafat pada 24 Juli 1981, jejak cintanya membekas di hati orang-orang yang mengenalnya. Sekretaris Majelis Wali Agung Gereja Indonesia Leo Sukoto mengenangnya sebagai seorang pembangun rohani yang jelas, terbuka, dan lincah. T.B. Simatupang, tokoh Dewan-Dewan Gereja Indonesia, menyampaikan, “Buya Hamka seorang pemikir yang sangat setia pada keyakinannya, tetapi juga sangat terbuka terhadap keyakinan agama lain.”
Begitulah Hamka. Dialah kiai cinta yang pembelajar. Darinya kita belajar banyak hal, termasuk menjadi pribadi yang pemaaf. Selamat idulfitri 1441 H. Mohon maaf lahir dan batin.
Pingback: Hamka, Konsistensi yang Menginspirasi – Dedi Setiawan