“Kesalahpahaman yang sering menimpa banyak orang tua adalah tidak dapat membedakan antara makna mengasuh (ar-ri’ayah) dan mendidik (at-tarbiyah). Mengasuh berarti menyediakan pakaian, makanan, dan segala sarana hidup yang layak. Adapun mendidik, artinya adalah menunjukkan jalan yang benar atau salah, halal atau haram, dan apa yang seharusnya dia kerjakan atau tinggalkan”
Karim Asy-Syadzili dalam bukunya Sukses Jadi Ayah (terjemahan, buku aslinya berjudul Al-‘An Anta ‘Ab).
Saya setuju dengan kutipan itu. Orang tua memang harus mengambil peran sebagai seorang pendidik. Saya agak geli, sekaligus kasihan, ketika mendengar ada orang tua yang bilang, “Anak, mah, biarin aja. Nanti dia nyari tau sendiri tentang yang baik dan buruk.”
Anak mencari tahu sendiri tentang hal yang baik dan buruk? Wah, becanda ini hehe. Kalau tentang kreativitas, saya setuju. Tapi kalau soal baik-buruk, masih harus dipertanyakan.
Kalau soal kreativitas, betul bahwa anak bisa mencari tahu sendiri. Si Kecil Sofia misalnya, untuk mengambil mainan di tempat yang tak terjangkau oleh tangannya, biasanya dia minta tolong ke saya. Kalau saya tidak merespons dengan cepat, dia akan menyeret kursi. Naik ke kursi, lalu mengambil mainannya.

Itu soal kreativitas, anak bisa mencari jalan sendiri. Tapi, soal baik-buruk? Orang tuanya harus memberi tahu. Lagi-lagi saya belajar dari Si Kecil Sofia.
Sebagai anak kecil, dia melakukan semuanya semaunya. Dia menarik mukena kakaknya yang sedang salat. Tentu sekaligus main kuda-kudaan di punggung orang yang sedang sujud. Dia juga merebut buku pelajaran kakaknya yang sedang belajar.
Saya menunggu-nunggu, kapan anak kecil ini sadar bahwa yang dilakukannya itu tidak baik? Toh dia masih menarik-narik mukena kakaknya walau sudah diberi mukena sendiri. Dia juga masih merebut buku kakaknya meski sudah diberi buku sendiri. Lantas, kapan sadarnya?

Sampailah saya pada kesimpulan, bahwa untuk urusan baik-buruk, orang tua memang harus memberitahu anaknya. Secara serius saya ngomong ke Si Kecil, “Sofia inget tiga ini, ya. Kalau orang lagi solat, lagi ngaji, dan lagi belajar, Sofia gak boleh ganggu. Gak boleh dimain-mainin. Sofia boleh ikut, tapi gak boleh ganggu.”
Peraturan memang harus jelas. Kalau peraturannya “abu-abu”, anak bingung menjalankannya. Karena Sofia masih kecil, saya hanya memintanya untuk tidak mengganggu orang yang sedang salat, ngaji, dan belajar. Sudah, tiga hal itu saja.
Artinya, di luar tiga hal itu, saya harus berlapang dada ketika dia nakal berbuat semaunya. Ketika sedang nonton, makan, atau ngantuk, lalu dia mengganggu, ya, sabar saja. Walaupun kesal, pokoknya sabar saja. Orang tua juga perlu konsisten menghargai pearturan yang telah dibuatnya. Nanti kalau aturannya dianggap sudah tidak relevan, segera buat kesepakatan baru, bikin aturan baru.

Oiya, tentang salat, saya agak detail membuat peraturannya. Saya bilang ke Si Kecil, “Gak boleh narik-narik mukena, gak boleh naik-naik ke punggung, gak boleh tidur-tiduran di tempat orang sujud, gak boleh jalan-jalan di sajadah. Ngerti?”
“Iya,” jawab Sofia, meyakinkan.
Lantas, apa yang terjadi ketika salat? Sofia benar-benar tidak narik-narik mukena, naik-naik ke punggung, dan tidur-tiduran di sajadah. Tapi, dengan berjinjit, dia lewat di depan orang salat. Kaki mungilnya diposisikan hampir menyentuh rumbai-rumbai sajadah. Haha, okelah, begitu rupanya dia menerjemahkan larangan “Gak boleh jalan-jalan di sajadah”!
kadang anak emang kudu diajari sebab akibat ya kang. semoga kita jadi orang tua yang bisa bimbing anak selalu dijalanNya