Aliya masuk SMP. Saya merasa perlu memberi nasehat tambahan. Maklum orang tua, sukanya ngasih nasehat hahaa… *ngitung rambut putih.
Waktu dia SD, salah satu hal yang saya tekankan adalah jangan nyontek. Saya sadar banget, ini salah satu tantangan anak-anak SD (SMP? SMA? Kuliah? hehe). Sedikit banyak saya tau tantangan menyekolahkan anak-anak di SD negeri: nyontek dan pacaran. Beberapa tahun belakangan ditambah hape dan turunannya, seperti nge-game, sosmed, dan nari-nari ala k-pop.
Memilih sekolah untuk anak tentu harus melewati beberapa pertimbangan. Saya gak mau membahasnya, terlalu banyak. Selain itu, saya memang agak tega, sengaja menjeburkan anak ke lingkungan yang dianggap kurang ideal oleh sebagian orang. Singkat cerita, Aliya masuk ke SD negeri.
Tantangannya pasti banyak (Ini bohong sih hehe… apa sih tantangan anak SD? Ya gak banyak lah). Misalnya tentang nyontek itu tadi. Beneran susah diberantas. Setidaknya itu yang saya rasakan –orang lain mungkin berhasil dengan mudah, ya bagus.
Awalnya saya selalu marah ketika anak menyontek. Lantas, apakah anak berhenti mencontek ketika saya marahi? Tidak. Akhirnya saya gak marah-marah lagi ketika anak mencontek. Horeeee hehehe.
Saya sadar bahwa mencontek itu hanya ujung permasalahan. Masalah itu akan terus terjadi ketika penyebabnya belum diatasi. Maka pernyataan saya selanjutnya adalah “Kamu harus bertanya ke ayah ketika kamu gak ngerti tentang suatu pelajaran”.
Kamu gak ngerti pelajaran di sekolah? Oke, gak papa. Kamu dapat nilai nol ketika teman-teman dapat seratus? Oke, gak papa. Kamu gak bisa ngisi soal-soal yang diberikan guru? Oke, gak papa. Gak usah menjawab soal matematika dengan kalimat bijak semisal “Orang-orang yang mempersulit orang lain, maka hidupnya juga akan dipersulit”. Gak tau jawabannya, ya gak usah diisi. Tapi kalau kamu gak bertanya ke ayah ketika kamu gak ngerti suatu pelajaran… Nah, itu masalahnya!
Gimana hasil kebijakan baru ini? Capek! hehe… Soalnya orang tua harus betulan mengajari anak (ketauan ya selama ini gak betulan hehe). Ayah dan ibu harus memeriksa jawaban ketika memberi soal latihan. Kita harus siap mengajari ketika anak minta diajari, bahkan ketika kita sudah mengantuk –apalagi anak. Jangan PHP :-p
Tibalah saatnya menjelang UN. Sayup-sayup saya dengar anak saya ingin bekerja sama dengan teman-temannya saat UN berlangsung. Saya gak mau menyalahkan siapa-siapa atas permisifnya hal tersebut. Tapi saya kembali… ehem, ngomel.
Kamu untuk apa siap-siap kerja sama kayak gitu? Pelajaran apa yang belum kamu ngerti? Kamu bakalan grogi duluan kalau merencanakan curang. Rasa percaya diri kamu bakalan runtuh dari awal kalau begitu caranya. Jawaban orang lain juga belum tentu benar. Sudahlah, kerjain aja sendiri.
Akhirnya UN selesai. Nilainya lumayan. Setidaknya lebih bagus dari NEM saya yang pas-pasan waktu SD hehe. Dia mendaftar di SMP dan alhamdulillah diterima.
Iseng saya bertanya, “Pas UN, jadinya nanya ke teman?”
“Emm, gimana ya. Mungkin satu nomor.”
“Gimana ceritanya?”
Waktu Aliya lagi bingung, tiba-tiba temannya nanya, “Aliya, nomor 11 udah belum?”
“Belum, tapi menurut aku jawabannya A.”
“Sama, aku juga jawabannya A.”
Jawaban temannya itu membuat Aliya tambah yakin bahwa jawabannya memang A.
“Kalau kayak gitu, namanya nyontek bukan, Yah?” Aliya balik nanya ke saya.
Saya nyengir aja.
Lho, kok jadi flashback? Kan awalnya mau cerita tentang nasehat untuk anak SMP? Maklum orang tua, kalau sudah ngomong, maunya semua disampaikan :-p Kita lanjut ke tulisan selanjutnya ya. InsyaAllah.
Pingback: #PesanAyah: Pesona Itu Seperti Durian | Dedi Setiawan