Di ashar ini saya kembali mengenang ibunda kaum Muslimin, Khadijah. Perempuan yang pesonanya senantiasa menerangi langit zaman. Bintang yang sinarnya tak pernah redup meski terus digosok waktu.
Telah tergaris takdir bahwa dibutuhkan seorang Khadijah untuk menemani Rasulullah memulai misi kenabian. Saat wahyu pertama turun di Gua Hira, berat terasa oleh Sang Rasul, seperti seluruh tanggung jawab dunia dipikulkan di pundaknya. Pulanglah beliau ke rumah dengan keringat bercucuran. Rasa takut tak terperi menyergap hingga wajahnya pucat pasi. Tanpa banyak tanya, Khadijah, perempuan mulia dengan segudang keanggunan itu mendekap lembut suaminya, menjalarkan gelombang ketenangan yang menjadi modal untuk kesuksesan suaminya di fase-fase perjuangan selanjutnya.
“Ia beriman padaku saat yang lain ingkar, ia berikan hartanya saat yang lain pelit,” begitu beliau menjelaskan saat Aisyah cemburu tentang keutamaan Khadijah. Bayangkan, saat yang lain mencibir, menghina, menolak, saat itulah Khadijah hadir, tidak hanya untuk mendengar dan menerima, tapi juga ikut berjuang bersama Rasulullah. Maka wajar bila posisi Khadijah di hati Sang Nabi tidak pernah tergantikan. Pesonanya terus membekas, bahkan setelah lama Khadijah meninggal.
Begitulah pesona bintang, ia terasa meski tak terlihat, meski tak bersama. Bintang, itulah dia yang terus diingat-ingat, kenangan tentangnya terus terbayang. Maka ketika seorang teman menggoda saya dengan bertanya, “Ga takut kecantol cewek Eropa, nih?” Saya tersenyum, lalu menghadirkan kenangan di depan debur ombak Kuta malam itu, dua hari setelah saya menikah. Pada istri saya bilang, “Aku telah memilih seseorang untuk menjadi bintang dalam hidupku, dan itu adalah kamu. Maka teruslah kamu menjadi bintangku. Kamulah bintang di langit hatiku….”
Jadi, bukannya tidak ada orang lain yang lebih cantik, lebih tampan, atau lebih keren. Hanya saja, ketika kita telah memutuskan seseorang untuk menjadi bintang di langit hati kita, dan kita memang mempertahankannya sebagai bintang, pesona milik orang lain bukanlah sesuatu yang harus dipusingkan. Wallahu’alam.
Dedi Setiawan
Perjalanan Munchen-Berlin, 26 November 2011