*tulisan ini dimuat di Koran Jakarta edisi Kamis, 23 Agustus 2018
Komando Pasukan Khusus (Kopassus) merupakan pasukan elite milik Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mereka kerap menjalani misi khusus yang mempertaruhkan jiwa dan raga. Mereka teruji sebagai satuan yang bergerak secara senyap, cepat, dan mematikan. Di antara mereka tersebutlah seorang prajurit berkaki satu yang melegenda, yaitu Kolonel Inf. Agus Hernoto.
Seperti prajurit komando lainnya, Agus memegang motto “Lebih baik pulang nama, daripada gagal di medan laga”. Hal itu dibuktikannya ketika memimpin Operasi Banteng I. Dia dan anak buahnya harus melakukan penerjunan dini hari di hutan rimba Irian Barat. Itu merupakan hutan perawan dengan pepohonan setinggi 20-30 meter. Mereka terkadang tidak bisa membedakan antara siang dan malam karena lebatnya hutan.
Di pedalaman Papua itulah nasib nahas menghampiri pria kelahiran 1 Agustus 1930 itu. Kaki kirinya tertembus timah panas. Pecahan granat menancap di punggung kanannya. Dia tersungkur, ditemukan belanda, lalu diintrogasi. Luka di kakinya ditusuk bayonet agar mau memberi informasi. Perlahan lukanya membusuk dan dikerubuti belatung. Dia bertahan dalam diam, tapi kakinya berakhir dengan amputasi.
Dari puluhan prajurit, hanya empat orang yang selamat dalam operasi tahun 1962 itu. Agus salah satu yang selamat. Dia lalu ditawari pensiun dini dengan dibekali modal untuk memulai hidup baru. Tawaran itu ditepisnya, “Saya tidak akan pensiun! Sampai mati saya akan tetap di Angkatan Darat.” (hal. 75)
Biasanya, prajurit yang mengalami penyiksaan saat menjadi tawanan akan mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD). Mereka akan menampakkan sikap negatif, depresi, dan sulit bergaul. Tapi, hal tersebut tidak berlaku bagi Agus. Pada Maret 1963, dia sudah bertugas kembali. Kali ini dia mengirim pasukan RPKAD dalam rangka operasi konfrontasi dengan Malaysia.
Selanjutnya, penyuka nasi semur daging dan sambal itu bergabung dengan Resimen Tjakrabirawa, lalu Opsus. Tjakrabirawa merupakan pasukan pengawal Presiden Sukarno yang terdiri dari satu batalion prajurit terbaik dari tiap angkatan. Di Opsus, dia menjadi Komandan Datasemen Markas (Dandema) dengan kinerja gemilang. Dia menjadi orang kepercayaan Ali Moertopo dan Benny Moerdani yang notabene orang dekat Presiden Soeharto.
Meski serius dalam tugas, dia suka bercanda dalam keseharian. Dia dengan santai melempar kaki palsunya untuk mengagetkan anak buahnya yang sedang ngobrol (hal. 144). Dia meledek anak buahnya yang memakai seragam TNI sebagai prajurit yang kumal dan lusuh, lalu memuji sebagai gentleman ketika anak buahnya memakai pakaian sipil (hal. 150). Dia mencandai istrinya mirip tukang jamu ketika perempuan berdarah Minang itu mengenakan kebaya (hal. 172).
Akhir tahun 70-an, peraih penghargaan Satyalancana Satya Dharma itu divonis menderita kanker hati. Dia tetap berusaha mengabdi pada negara meski dalam keadaan sakit. Namun, kondisinya terus memburuk hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada 4 September 1984.
Tiga tahun kemudian, Kolonel (Purn.) Jan Willem de Leeuw mengungkap sebuah kisah heroik. Tentu bukan kisah sembarangan, sebab dia merupakan pemimpin pasukan Belanda di Fakfak saat Agus memimpin Operasi Banteng I. Kisah tentang Agus itu dituturkan kepada Panglima ABRI Benny Moerdani yang sedang berkunjung ke Belanda.
“Dia orang yang tidak pernah menyerah. Kami sangat kagum dan menghormati sikapnya yang tidak mau kompromi kendati sudah menjadi tawanan. Dia pantas mendapat bintang penghargaan di negara Anda,” kata Jan Willem de Leeuw.
Atas keberanian dan kegigihan tersebut, negara memberikan penghargaan Bintang Sakti kepada Agus. Itu merupakan penghargaan tertinggi di bidang militer. Dia memang telah pergi, tapi namanya terus menginspirasi. Lewat kisah hidup yang melegenda, seolah dia berkata, “Teruskan perjuangan. Kami telah beri apa yang kami punya.”
Dedi Setiawan
***
Data Buku
Judul : Legenda Pasukan Komando dari Kopassus sampai Operasi Khusus
Penulis : Bob H. Hernoto dan Hendri F. Isnaeni
Tebal : 232 halaman
Cetakan : 2017
Penerbit : Kompas
Harga : Rp. 72.000
ISBN : 978-602-412-227-0