Bumi Cinta adalah novel terbaru Kang Abik, begitu Habiburrahman El Shirazy akrab disapa. Novel ini menceritakan tentang seorang mahasiswa asal Indonesia yang sedang menyelesaikan kuliah pasca sarjana di India. Untuk menyelesaikan kuliahnya, Muhammad Ayyas, tokoh utama dalam novel ini, harus melakukan penelitian di Rusia.
Pada musim dingin yang menggigit tulang, Ayyas tiba di Moskwa, ibukota Rusia. Ia disambut oleh Devid, teman satu SMP waktu masih di Indonesia, yang telah lebih dahulu tinggal di Rusia. Devid inilah yang membantu Ayyas mencarikan apartemen untuk tempat tinggal selama di Moskwa.
Masalah mulai timbul saat Ayyas mengetahui bahwa di apartemen itu, ia harus tinggal bersama dua wanita yang bukan mahromnya. Ayyas langsung menyampaikan keberatannya. Namun Devid menyampaikan argumen yang tak terbantahkan, semata-mata ini untuk keamanan, kenyamanan, dan sudah tidak ada pilihan apartemen lainnya bagi Ayyas.
Teman seapartemen Ayyas bernama Linor dan Yelena. Walaupun memilik kamar masing-masing, tapi tetap saja mereka harus menggunakan dapur dan ruang tamu secara bersama-sama. Di saat-saat seperti inilah, Ayyas harus berjuang mempertahankan kesucian imannya. Karena selain cantik dan anggun, Linor dan Yelena sering menggunakan pakaian minim yang sangat menggoda iman lelaki normal manapun.
Hidup Ayyas sepertinya tak bisa lepas dari wanita cantik. Profesor Tomskii yang dirujuk oleh dosennya di India ternyata harus pergi ke Istanbul untuk suatu urusan. Maka hadirlah Anastasia Palazzo sebagai pembimbing pengganti. Kecantikan saja sudah menjadi ujian berat bagi Ayyas, ini ditambah pula dengan kecerdasan. Dadanya berdesir, rona tumpah di wajahnya saat pertama kali berkenalan dengan doktor pakar sejarah Asia Selatan itu.
Diskusi-diskusi panjang antara Ayyas dan Anastasia membuat wanita jelita itu tertarik kepada Ayyas. Tiap kata yang meluncur dari mulut Ayyas seperti guratan kuas pelukis terkenal di kanvas hati Anastasia. Diam-diam ia menaruh hati pada pemuda lulusan Madinah itu. Ada rindu yang menggebu ketika doktor muda itu tak berjumpa dengan Ayyas.
Di lain pihak, ternyata Linor adalah seorang agen Mossad yang punya rencana keji. Ia telah menyusun skenario yang dapat membuat publik berpikir bahwa Ayyas adalah seorang teroris. Sementara itu Yelena, yang ternyata adalah seorang pelacur kelas atas, harus berjuang melepaskan diri dari cengkraman mucikarinya.
Tentang penokohan, dilihat dari kompleksitas karakter tokoh-tokohnya, pada novel ini terdapat flat dan round character sekaligus. Ayyas adalah contoh dari flat character. Tokoh Ayyas digambarkan sangat prototype. Dari halaman akhir sampai awal, Ayyas digambarkan sebagai pemuda yang baik dan memiliki pesona. Untuk menghindari gugatan pembaca tentang tokoh Ayyas yang hampir sempurna ini, Kang Abik berhasil membangun rasionalisasi yang dapat diterima oleh pembaca.
Sementara round character, terdapat pada tokoh Linor. Tokoh ini digambarkan dengan “lebih manusiawi”. Ia memiliki sisi hitam yang bengis, juga memiliki sisi putih yang lembut.
Dilihat dari perkembangan watak, Ayyas adalah tokoh statis/tokoh diam. Ayyas tidak mengalami perubahan watak apapun. Sedangkan Linor dan Yelena adalah tokoh dinamis/tokoh berkembang. Ada perubahan watak dari jahat atau kurang baik menjadi lebih baik.
Latar fisik/material berhasil digambarkan dalam novel ini. Tempat dan musim yang sedang berlangsung digambarkan dengan apik. Beberapa tempat digambarkan dengan detail. Pembaca seolah diajak untuk bisa merasakan dingin, sekaligus indahnya musim salju di Rusia.
Latar spiritual/sosial juga ditampilkan untuk memperkuat suasana pada novel. Nilai-nilai agama yang sudah luntur digambarkan dengan jelas. Pembaca mendapat informasi tentang latar sosial melalui gambaran tentang penipuan, kekerasan, kelompok mafia, dan seks bebas.
Novel “Bergizi”
Sebagai novel pembangun jiwa, novel ini patut diapresiasi. Tokoh Ayyas bisa dijadikan inspirasi untuk melakukan kebaikan. Tokoh Ayyas bisa dijadikan model pemuda muslim yang tetap tegar di tengah terpaan badai syahwat yang mengancam iman.
Novel ini menggambarkan indahnya adab sehari-hari yang dicontohkan Islam. Adab bersaudara, adab kepada guru, sampai adab ketika mimpi buruk digambarkan dengan teknik dramatik. Sehingga tampak bagus dan halus, tak terkesan menggurui.
Pada novel ini juga disinggung masalah atheisme. Berbagai jenis atheisme ditelanjangi dan ditunjuki kelemahan-kelemahannya. Selain itu, novel ini mengungkap kekejaman dan kekejian Zionis Israel. Pembantaian Sabra dan Shatila digambarkan dengan jelas. Beberapa dialog dalam novel ini mengandung ajaran tauhid. Dari segi amanat, novel ini bisa dikatakan sebagai novel yang “bergizi”.
Gading yang Retak
Tak ada gading yang tak retak. Begitu juga dengan novel “Bumi Cinta” bersampul putih yang indah ini. Menurut saya ada beberapa kelemahan.
Penggunaan tanda tanya (?) yang tidak tepat. Bagi saya, ini sangat mengganggu kenikmatan membaca. Pada halaman 93, “… Pernah Budha, pernah Konghucu, pernah Ortodoks, dan pernah Islam?”. Dilihat dari keseluruhan dialog, tanda tanya pada kalimat tersebut dinilai kurang tepat. Kesalahan serupa juga terdapat pada halaman 99, 281, 369, dan 378. Kalimat yang seharusnya memakai tanda tanya, malahan tidak ada tanda tanya (terdapat di halaman 194).
Kesalahan redaksional terjadi pada halaman 184, “Dkter” harusnya “Dokter”. Pada halaman 337, “manusia” harusnya “agama”. Kata “di” untuk keterangan tempat dan waktu harusnya tertulis terpisah, tapi tidak demikian yang tertulis di halaman 319 dan 389.
Ketidakkonsistenan penggunaan panggilan untuk “Linor” terjadi pada halaman 386, 395, dan 405. Pada halaman 386, baik Linor maupun mamanya telah setuju menggunakan nama “Sofia”. Tapi ternyata pada halaman 395 dan 405 masih menggunakan nama “Linor” dalam percakapan.
Percakapan tentang atheisme dan ketauhidan sebenarnya bagus. Hal ini bisa menambah pengetahuan tentang jenis-jenis atheisme dan kekurangannya, serta memperkuat keimanan. Sayang dialog-dialog yang dibangun terlalu panjang, beberapa terkesan terlalu garang dan menggurui.
Dari segi pesan, “Bumi Cinta” bisa dijadikan jawaban ketika ada yang “Mempertanyakan Kembali Idealisme Para Penulis (Muda)” (Sabili, No. 17 Th. XVII, 18 Maret 2010). Kang Abik adalah salah satu penulis muda yang idealis. Deretan novel-novel yang ditulis olehnya, penuh dengan nuansa idealisme yang diusungnya. Dilihat dari segi pesan dan semangat dakwah, novel ini sangat pantas diapresiasi sebagai novel pembangun jiwa.
Bacaan:
Novel “Bumi Cinta” karya Habiburrahman el Shirazy, cetakan I (2010), penerbit Author.
*tulisan ini pernah dimuat di Majalah Sabili