Senang Tanpa Alasan

Ashar yang cerah. Saya bergegas menuju masjid. Tidak sendiri. Ada Fadhil di samping saya.

Terlihat jelas usaha bocah 9 tahun itu menyejajari langkah saya. Sesekali dibetulkannya letak sarung yang mulai kedodoran. Perut gendutnya goyang-goyang. Wajar, berat badannya 45 kilo! Agak geli juga saya melihatnya.

Iseng, saya tanya dia, “Seneng ga punya adek baru?”

“Ya, seneng, lah,” jawabnya. Senyum mengembang di wajah bulatnya yang masih basah dengan air wudhu.

fadhildedi
Fadhil dan Om Dedi

Kakak perempuan saya beberapa bulan lalu memang baru melahirkan anak laki-laki. Keponakan saya itu berarti adiknya Fadhil.

 “Kenapa seneng?” Saya mengira jawabannya akan normatif. Seperti senang karena adiknya lucu, atau karena jadi nambah teman main, dan sejenisnya.

Tapi ternyata saya salah. “Ya, seneng aja, lah!”

Sudah. Cuma itu jawabannya. Tidak ada kelanjutan.

“Ya, kenapa seneng?” Kejar saya, tidak puas.

“Ya, seneng aja. Coba Om, seneng ga punya adek lagi?” Dia balik nanya.

“Ya, seneng, lah,” jawab saya, cepat.

“Kenapa?”

Saya diam sejenak. Ingatan saya melayang ke masa lalu. Saat itu umur saya tujuh tahun. Ibu saya baru melahirkan anak perempuan. Meski pasti ada distorsi, saya tetap berusaha meraba tentang apa yang saya rasakan saat itu. Ya, itu pertanyaannya: kenapa saya senang punya adik baru? Kenapa saya antusias dengan kelahirannya?

Saya sendiri gagal menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sebenar-benarnya dari hati saya, yang genuine. Hal-hal normatif tidak bisa dijadikan jawaban atas pertanyaan tersebut, setidaknya bagi saya. Senang karena adiknya lucu? Senang karena nambah teman? Senang karena adiknya baik? Ah, yang benar saja!

Untuk hal-hal lain, konstruksi pemikiran yang dibangun atas logika sebab-akibat itu mungkin tepat. Tapi tidak untuk menjelaskan tentang perasaan kita terhadap orang-orang terdekat. Tidak ada itu “karena” bla bla bla, “maka” saya senang.

Yang terjadi malah sebaliknya. Rasa senang itu datang duluan. Baru kemudian kita mencari-cari alasan untuk membenarkan perasaan itu. Bisa karena baik, pintar, cantik, lucu, dan berderet-deret alasan lainnya.

“Ya, seneng aja, lah….” Jawab saya, akhirnya. Persis seperti jawaban Fadhil!

“Naaah, kan, Abang juga seneng aja punya adek lagi, sama kayak Om!” Pungkas Fadhil sambil tersenyum puas.

Leave a Reply

Back to Top
%d bloggers like this: