Sejak dulu saya merasa khawatir jika tidak minum susu –walaupun saya juga tidak minum susu secara rutin. Saya juga takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada anak-anak jika mereka tidak minum susu. Maklum, iklan susu bertubi-tubi memberondongkan pesannya. Bukan hanya tentang “keunggulan” susu, tapi juga tentang “ancaman” jika tidak minum susu.
Kehebohan soal Susu Kental Manis (SKM) juga tidak mengurangi pandangan baik saya tentang susu. Meski tahu bahwa SKM itu pemanis buatan, pikiran saya tetap bilang bahwa itu susu yang baik. Agak malu saya mengakuinya, tapi begitulah nyatanya.
Sampai kemudian saya membaca Nasehat untuk Sehat yang ditulis oleh Tan Shot Yen. Di situ tertulis:
Hampir 100% anak (beserta guru dan orang tuanya) menjawab pasti bahwa sumber kalsium adalah susu. Orang mati-matian mencari uang demi membeli susu anaknya ketimbang memahami bahwa banyak sekali makanan kaya kalsium dan mengandung zat gizi lain yang sangat dibutuhkan saat tumbuh-kembang.
Brokoli dan bayam, selain kalsiumnya cukup banyak, juga memberi serat tinggi, antioksidan, dan perlindungan terhadap pelbagai penyakit. Susu tidak mengandung polifenol seperti bayam dan brokoli.
Segelas susu (200 cc) mempunyai 236 mg kalsium, setara dengan 2 porsi brokoli (2 x 120 gr) dengan kandungan total 224 mg kalsium, atau 240 gr tahu yang mempunyai 256 mg kalsium. Bahkan 1 cangkir bayam rebus mengandung 240 mg kalsium dan 1 porsi (85 gr) ikan tongkol terdapat 250 mg kalsium.
Tulisan itu membuat saya menyusun ulang pemahaman tentang susu. Tidak minum susu, ya, tidak berbahaya. Kuncinya ada di pemenuhan asupan yang dibutuhkan tubuh. Asupan itu bisa didapatkan dari banyak sumber.
Saya tanya ke istri, “Kenapa selama ini anak-anak tidak minum susu?”
Bukannya mendapat jawaban, saya malah mendapat pertanyaan balik, “Untuk apa?”
Istri saya kemudian menjelaskan bahwa anak-anak tidak kesulitan mengonsumsi sayuran. Anak-anak menyukai buah-buahan. Mereka juga memakan lauk-pauk yang disajikan. Dengan kata lain, semua kebaikan yang diklaim tersedia dalam susu sudah didapatkan dari makanan sehari-hari.
“Apakah memang tidak ada kebaikan pada susu? Padahal, Nabi juga minum susu, kan?”
“Susu yang seperti apa dulu?” Lagi-lagi, pertanyaan saya dijawab dengan pertanyaan.
Betul juga. Susu yang sekarang tersedia di toko-toko tentu berbeda dengan susu cair yang murni. Tapi, soal ini kami masih perlu banyak belajar lagi.
Saya masih belum puas, “Tapi, tetap ada kebaikan pada susu yang beredar sekarang, dong?”
“Ya, kalau ngeliat komposisi di kotaknya, memang ada kebaikannya. Tapi, coba pikirkan kemungkinan efek negatifnya.”
Saya mulai memikirkan, susu seperti apa yang saya sukai? Susu yang manis. Kalau tidak manis, apakah saya dan anak-anak akan suka? Kalau rasanya manis, berarti memakai pemanis. Bagaimana efeknya untuk kesehatan gigi? Bagaimana pengaruhnya bagi berat tubuh ideal? Mungkinkah susu memiliki kandungan yang lebih baik dari sayur dan buah-buahan?
“Kenapa dulu anak-anak minum susu?”
“Karena belum tahu,” jawab istri saya, diiringi tawa.
Selain itu, ada masa ketika produksi Air Susu Ibu (ASI) tidak mencukupi. Kami khawatir anak kekurangan nutrisi. Susu formula kami posisikan sebagai makanan tambahan.
Kami istri menghentikan pemberian susu ketika anak-anak mulai bisa mengonsumsi makanan padat. Untungnya, mereka tidak susah untuk makan sayuran. Mereka juga menyukai buah-buahan.
Karena masih penasaran, saya bertanya kepada Dr. dr. Gaga Irawan Nugraha, M.Gizi., SpGK. Di salah satu postingan instagram @drgagairawan, saya bertanya:
Kalau kebutuhan kalsium, vitamin D, dan protein sudah terpenuhi melalui sayuran dan daging, apakah akan tetap aman meskipun tidak minum susu?
Dokter spesialis gizi klinik itu menjawab:
Iya, tapi untuk vitamin D, sumbernya harus terkena sinar matahari langsung.
Saya lanjutkan ngobrol dengan istri, “Kita juga kan kadang-kadang minum susu. Gimana tuh?”
“Ya, gak papa. Tapi, jangan berharap gimana-gimana. Sekedar suka aja. Kalau lagi ada, ya, diminum.”
Artinya, dalam kondisi normal, kami memposisikan susu sebagai “hiburan”. Sama seperti minuman bersoda, coklat, cemilan, dan seterusnya. Sekali-sekali kami mengonsumsi itu semua. Kami tidak menyengajakan diri membeli produk-produk itu secara periodik.
Sebagai pemikiran yang terus bergulir, obrolan ini tentu jauh dari final. Apalagi dalam kondisi seperti sekarang, sangat sulit menjalankan konsep hidup sehat yang ideal. Tapi, setidaknya, itulah pilihan logis kami saat ini. Kami menikmati prosesnya secara santai dan bahagia 😊
Mencerahkan Pak.
Pingback: Nasehat Sehat untuk Sahabat – Dedi Setiawan